One web id — Majapahit merupakan sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 Masehi. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan. Sebetulnya hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit, salah satu diantaranya adalah candi. Untuk mengetahui candi-candi peninggalan dari kerajaan Majapahit, mari kita simak ulasan yang berikut.
1. Candi Tikus
Candi Tikus merupakan salah satu peninggalan purbakala dari kerajaan Majapahit yang terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 meter dari Candi Bajangratu. Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914 silam. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Sebetulnya, nama ‘Tikus’ hanyalah sebagai sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon tatkala ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus. Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Namun dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13 hingga ke-14 Masehi, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur dimasa itu. Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar lagi ada yang berpendapat kalau bangunan tersebut adalah tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan. Akan tetapi, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini dulunya juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
2. Candi Sukuh
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administrasi terletak di wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Diperkirakan berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995. Situs candi Sukuh pertama kali ditemukan pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Kala itu, Johnson ditugaskan oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928. Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut.
3. Candi Brahu
Candi Brahu adalah salah satu candi yang terletak di dalam kawasan situs arkeologi Trowulan, bekas ibu kota Majapahit. Tepatnya, candi ini berada di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, atau sekitar dua kilometer ke arah utara dari jalan raya Mojokerto—Jombang. Nama candi ini, yaitu 'brahu', diduga berasal dari kata wanaru atau warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu. Candi Brahu dibangun dengan batu bata merah, menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 meter, dengan lebar 18 meter, dan tingginya mencapai 20 meter. Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha. Diperkirakan, candi ini didirikan pada abad ke-15 Masehi, meskipun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Pasalnya, ada yang mengatakan kalau candi ini berusia jauh lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok bertanggal 9 September 939 (861 Saka), Candi Brahu disebut merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja. Akan tetapi, dalam penelitian tak ada satu pakar pun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Hal ini diverifikasi setelah dilakukan pemugaran candi pada tahun 1990 hingga 1995 silam.
4. Candi Cetho
Candi Ceto merupakan candi bercorak agama Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit yaitu pada abad ke-15 Masehi. Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 meter di atas permukaan laut, dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Selain itu, candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa atau Kejawen. Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Penggalian untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh.
5. Candi Wringin Branjang
Candi Wringin Branjang merupakan salah satu diantara sekian banyak candi peninggalan Majapahit. Candi ini terletak di Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi ini letaknya masih satu kompleks dengan Situs Gadungan, jaraknya sekitar 100 meter di sebelah barat Situs Gadungan I. Candi yang terbuat dari batu andesit ini memiliki bentuk yang sangat sederhana. Struktur bangunannya tidak memiliki kaki candi, tetapi hanya mempunyai tubuh dan atap candi saja, dengan ukuran panjang 400 cm, lebar 300 cm dan tingginya 500 cm. Sedangkan pintu masuknya berukuran lebar 100 cm, tingginya 200 cm dan menghadap ke arah selatan. Pada bagian dinding tidak terdapat relief atau hiasan lainnya, tetapi dinding-dinding ini memiliki lubang ventilasi yang sederhana. Bentuk atap candi menyerupai atap rumah biasa, dan diduga bangunan candi ini merupakan tempat penyimpanan alat-alat upacara dari zaman Kerajaan Majapahit yakni pada abad ke 15 Masehi.
6. Candi Pari
Candi Pari adalah sebuah peninggalan Masa Klasik Indonesia yang terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi tersebut berada sekitar 2 kilometer ke arah barat laut pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas. Candi ini merupakan suatu bangunan persegi empat dari batu bata, menghadap ke barat dengan ambang serta tutup gerbang dari batu andesit. Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun 1293 Saka = 1371 Masehi. Merupakan peninggalan zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk 1350-1389 Masehi. Menurut Laporan J. Knebel dalam “Rapporten Van De Comissie In Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek Op Java en Madoera” 1905-1906. Sebetulnya, Candi Pari dan Candi Sumur dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat atau adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang menolak tinggal di keraton Majapahit di kala itu.
7. Candi Surawana
Candi Surawana atau Surowono adalah candi Hindu yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota Kediri. Candi yang nama sebenarnya adalah Wishnubhawanapura ini diperkirakan dibangun pada abad 14 untuk memuliakan Bhre Wengker, seorang raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 Masehi. Dalam Negarakertagama diceritakan bahwa pada tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah berkunjung bahkan menginap di Candi Surawana. Saat ini, keadaan Candi Surawana sudah tidak utuh. Hanya bagian dasar yang telah direkonstruksi. Ukuran Candi Surawana tidak terlalu besar, hanya 8 X 8 meter persegi. Candi yang seluruhnya dibangun menggunakan batu andesit ini merupakan candi Siwa. Saat ini seluruh tubuh dan atap candi telah hancur tak bersisa. Hanya kaki candi setinggi sekitar 3 meter yang masih tegak di tempatnya. Untuk naik ke selasar di atas kaki candi terdapat tangga sempit yang terletak di sisi Barat. Menilik letak tangga, dapat disimpulkan bahwa candi ini menghadap ke Barat.
8. Candi Jabung
Candi Jabung merupakan salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Candi hindu ini berada di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja. Mengenai arsitektur bangunannya, candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara.
9. Gapura Wringin Lawang
Gapura Wringin Lawang merupakan sebuah gapura peninggalan kerajaan Majapahit pada abad ke-14 yang berada di Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Keberadaan bangunan ini tak jauh ke arah selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang berarti 'Pintu Beringin'. Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Diperkirakan, gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit dan saat ini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarawan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
10. Gapura Bajang Ratu
Gapura Bajang Ratu atau yang dikenal dengan nama Candi Bajang Ratu merupakan sebuah gapura atau candi peninggalan Majapahit yang berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Diperkirakan, bangunan ini dibangun pada abad ke-14 dan merupakan salah satu gapura terbesar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi atau gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebut "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 Masehi). Tapi sebenarnya sebelum Jayanegara wafat, candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan hingga sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diwajibkan untuk lewat dari pintu belakang.
Referensi : id.wikipedia.org
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan. Sebetulnya hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit, salah satu diantaranya adalah candi. Untuk mengetahui candi-candi peninggalan dari kerajaan Majapahit, mari kita simak ulasan yang berikut.
1. Candi Tikus
Candi Tikus merupakan salah satu peninggalan purbakala dari kerajaan Majapahit yang terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 meter dari Candi Bajangratu. Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914 silam. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Sebetulnya, nama ‘Tikus’ hanyalah sebagai sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon tatkala ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus. Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Namun dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13 hingga ke-14 Masehi, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur dimasa itu. Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar lagi ada yang berpendapat kalau bangunan tersebut adalah tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan. Akan tetapi, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini dulunya juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
2. Candi Sukuh
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administrasi terletak di wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Diperkirakan berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995. Situs candi Sukuh pertama kali ditemukan pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Kala itu, Johnson ditugaskan oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928. Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut.
3. Candi Brahu
Candi Brahu adalah salah satu candi yang terletak di dalam kawasan situs arkeologi Trowulan, bekas ibu kota Majapahit. Tepatnya, candi ini berada di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, atau sekitar dua kilometer ke arah utara dari jalan raya Mojokerto—Jombang. Nama candi ini, yaitu 'brahu', diduga berasal dari kata wanaru atau warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu. Candi Brahu dibangun dengan batu bata merah, menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 meter, dengan lebar 18 meter, dan tingginya mencapai 20 meter. Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha. Diperkirakan, candi ini didirikan pada abad ke-15 Masehi, meskipun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Pasalnya, ada yang mengatakan kalau candi ini berusia jauh lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok bertanggal 9 September 939 (861 Saka), Candi Brahu disebut merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja. Akan tetapi, dalam penelitian tak ada satu pakar pun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Hal ini diverifikasi setelah dilakukan pemugaran candi pada tahun 1990 hingga 1995 silam.
4. Candi Cetho
Candi Ceto merupakan candi bercorak agama Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit yaitu pada abad ke-15 Masehi. Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 meter di atas permukaan laut, dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Selain itu, candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa atau Kejawen. Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Penggalian untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh.
5. Candi Wringin Branjang
Candi Wringin Branjang merupakan salah satu diantara sekian banyak candi peninggalan Majapahit. Candi ini terletak di Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi ini letaknya masih satu kompleks dengan Situs Gadungan, jaraknya sekitar 100 meter di sebelah barat Situs Gadungan I. Candi yang terbuat dari batu andesit ini memiliki bentuk yang sangat sederhana. Struktur bangunannya tidak memiliki kaki candi, tetapi hanya mempunyai tubuh dan atap candi saja, dengan ukuran panjang 400 cm, lebar 300 cm dan tingginya 500 cm. Sedangkan pintu masuknya berukuran lebar 100 cm, tingginya 200 cm dan menghadap ke arah selatan. Pada bagian dinding tidak terdapat relief atau hiasan lainnya, tetapi dinding-dinding ini memiliki lubang ventilasi yang sederhana. Bentuk atap candi menyerupai atap rumah biasa, dan diduga bangunan candi ini merupakan tempat penyimpanan alat-alat upacara dari zaman Kerajaan Majapahit yakni pada abad ke 15 Masehi.
6. Candi Pari
Candi Pari adalah sebuah peninggalan Masa Klasik Indonesia yang terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi tersebut berada sekitar 2 kilometer ke arah barat laut pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas. Candi ini merupakan suatu bangunan persegi empat dari batu bata, menghadap ke barat dengan ambang serta tutup gerbang dari batu andesit. Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun 1293 Saka = 1371 Masehi. Merupakan peninggalan zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk 1350-1389 Masehi. Menurut Laporan J. Knebel dalam “Rapporten Van De Comissie In Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek Op Java en Madoera” 1905-1906. Sebetulnya, Candi Pari dan Candi Sumur dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat atau adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang menolak tinggal di keraton Majapahit di kala itu.
7. Candi Surawana
Candi Surawana atau Surowono adalah candi Hindu yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota Kediri. Candi yang nama sebenarnya adalah Wishnubhawanapura ini diperkirakan dibangun pada abad 14 untuk memuliakan Bhre Wengker, seorang raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 Masehi. Dalam Negarakertagama diceritakan bahwa pada tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah berkunjung bahkan menginap di Candi Surawana. Saat ini, keadaan Candi Surawana sudah tidak utuh. Hanya bagian dasar yang telah direkonstruksi. Ukuran Candi Surawana tidak terlalu besar, hanya 8 X 8 meter persegi. Candi yang seluruhnya dibangun menggunakan batu andesit ini merupakan candi Siwa. Saat ini seluruh tubuh dan atap candi telah hancur tak bersisa. Hanya kaki candi setinggi sekitar 3 meter yang masih tegak di tempatnya. Untuk naik ke selasar di atas kaki candi terdapat tangga sempit yang terletak di sisi Barat. Menilik letak tangga, dapat disimpulkan bahwa candi ini menghadap ke Barat.
8. Candi Jabung
Candi Jabung merupakan salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Candi hindu ini berada di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja. Mengenai arsitektur bangunannya, candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara.
9. Gapura Wringin Lawang
Gapura Wringin Lawang merupakan sebuah gapura peninggalan kerajaan Majapahit pada abad ke-14 yang berada di Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Keberadaan bangunan ini tak jauh ke arah selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang berarti 'Pintu Beringin'. Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Diperkirakan, gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit dan saat ini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarawan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
10. Gapura Bajang Ratu
Gapura Bajang Ratu atau yang dikenal dengan nama Candi Bajang Ratu merupakan sebuah gapura atau candi peninggalan Majapahit yang berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Diperkirakan, bangunan ini dibangun pada abad ke-14 dan merupakan salah satu gapura terbesar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi atau gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebut "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 Masehi). Tapi sebenarnya sebelum Jayanegara wafat, candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan hingga sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diwajibkan untuk lewat dari pintu belakang.
Referensi : id.wikipedia.org
No comments:
Post a Comment